Opini:
Mengapa Berlomba Menjadi Walikota Medan?
(Pergulatan Antara Realita dan Harapan)
Oleh: Prasasti Perangin-angin, S.Pd
“Di mana ada gula, disitu ada semut.” Ini adalah realita. “Berdua lebih baik daripada sendiri.” Ini adalah harapan.
Bursa pemilihan Walikota Medan ramai. Sampai batas waktu yang ditetapkan KPU Medan (17 Januari) sudah ada 6 bakal calon Walikota Medan yang akan diverifikasi administrasi dan faktual oleh KPU Medan dari jalur independen. Sudah ada 482.987 fotocopy dukungan yang diberikan kepada 6 balon tersebut. Jumlah tersebut adalah sekitar 80% dari jumlah pemilih pada Pilkada Medan. Angka yang menakjubkan bukan.
Orang-orang yang masuk di bursa pencalonan bervariasi. Mulai dari mantan gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede/Afifuddin mantan Pj Walikota Medan ikut sampai kepada praktisi pendidikan Bahdin Nur Tanjung ikut meramaikan bursa pencalonan. Perhatikan nama-nama ini: Prof. M. Arif Nasution/Sukirmanto, Bahdin Nur Tanjung/Kasim Siyo, dr. Sjahril R Anas/H. Yahya Sumardi, Joko Susilo/Amir Mirza Hutagalung, dan Indra/Delyuzar, dari jalur independen. Belum lagi dari jalur Parpol Sigit Purnomo Asri (PKS), Rajamin Sirait, mantan Walikota medan Maulana Pohan, Datuk Khairil Anwar Surbakti/Aja Syahrizal Mansur (koalisi 23 Parpol), Rahudman Harahap, dr. Sofyan Tan, dan Tenang Malem Tarigan berencana ikut dalam pertarungan ini. Nama-nama ini semua sudah cukup dikenal di kancah politik Sumatera Utara dan memiliki popularitas yang cukup signifikan sehingga sulit kita tentukan siapa yang akan terpilih menjadi orang nomor satu di kota Medan ini.
Banyaknya nama yang bertarung di dalam pencalonan ini, menimbulkan pergulatan antara realita dan harapan. Pergulatan ini muncul dari interpretasi mengapa begitu banyak orang ini menjadi Walikota Medan.
Semua mereka dengan yakin dan teguh mengusung visi membangun kota Medan menjadi kota metropolitan yang maju. Kota Medan yang damai dengan pluralismenya. Kota Medan yang siap bersaing dengan kota yang lain. Tidak perlu saya sebutkan satu persatu, semuanya berada di areal membangun kota Medan lebih maju. Perbedaannya hanyalah ditonjolkan bagian-bagian tertentu yang membuat mereka sedikit berbeda dengan bakal calon lain. Kalau bisa saya katakan perbedaannya hanya seputar pencitraan diri yang bisa “dijual” dari para bakal calon.
Semua calon berlomba menonjolkan citra diri yang baik. Saya jujur, bersih, bersahabat dengan semua orang, adil, berpengalaman, pejuang ini dan pejuang itu, dimikian dituturkan mereka. Ini memang sangat berkaitan bahwa keberhasilan akan sangat dipengaruhi oleh popularitas calon di mata warga Medan. Siapa yang berhasil menunjukkan citra yang baik, maka sepertinya akan berhasil menduduki posisi orang nomor satu di kota Medan. Jadi yang diperlombakan adalah popularitas bukan karya. Sehingga patutlah kita bertanya apakah benar adanya demikian? Mereka terpanggil untuk membawa Medan menjadi kota yang maju atau kah sebaliknya?
Pertanyaan ini tentunya beralasan melihat realita yang ada. Awal tahun ini semua Pemda (pemerintahan daerah) harus menerima realita sekitar 90% Pemda di Indonesia tidak beres. Pernyataan Dr. Ali Masyukur Musa M.Si, M.Hum bahwa Pemda tidak becus mengurus keuangan dan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD). Ditolaknya laporan tersebut setelah diaudit oleh BPK (badan pemeriksa keuangan) mengindikasikan penyelewengan atau korupsi merajalela di tubuh “kerajaan kecil” di tingkat Pemda. Setidaknya itu menjadi gambaran terbukanya tabir yang lebar untuk menikmati uang negara di tubuh Pemda.
Pernyataan ini tentunya menjadi catatan penting bagi setiap bakal calon. Setuju atau tidak pernyataan itu mengindikasikan bobroknya pemerintahan kita di dalam pengelolaan keuangan yang sangat dekat dengan penyelewengan atau korupsi. Salah satu musuh utama bangsa ini adalah merajalelanya korupsi di tingkat bawah. Otonomi daerah yang dikembangkan pemerintah mempunyai dampak paling buruk yakni menyebarnya pelaku korupsi atau sering disebut menyebarnya “raja-raja” kecil di tingkat daerah yang justru memperparah korupsi di negeri ini. Sehingga mau tidak mau kita harus menerima kenyataan bahwa 9 dari 10 Pemda, terbuka untuk kasus tersebut.
Jika kita telusuri mulai dari dana yang dikeluarkan para calon kepala daerah berkisar 15 Miliar untuk bisa maju menjadi kepala daerah. Jadi jika diperkirakan darimana uang itu akan kembali jika dilihat gaji pokok kepala daerah tingkat II dibawah 10 juta per bulan. Jujur saja dari semua calon di atas sepertinya belum ada yang “kelebihan uang” sehingga hidupnya adalah untuk pengabdian semata. Tetapi pada umumnya kekuasan yang dicari itu berujung kepada penikmatan materi.
Menjadi walikota Medan berarti menjadi “rajanya Medan”. Semua kita tahu catatan akan korupsi yang sudah terjadi di kota ini. Mantan walikota dan wakil walikota medan periode ini harus masuk penjara karena kasus korupsi. Begitu banyak asset kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara dan sebagai kota metropolitan yang terbuka lebar untuk disalahgunakan. Atau pun dengan kata lain kota Medan adalah lahan basah bagi para koruptor. Sehingga saya sedikit tidak heran begitu banyak orang menginginkanya. Di mana ada gula disitu ada semut.
Tetapi apa yang saya gambarkan bukalah harapan rakyat dari mengapa banyak orang ingin menjadi walikota Medan. Realita harus diterima. Tetapi lebih dari pada itu saya ingin mengajak kita kepada sebuah perspektif harapan. Banyak calon bisa juga menjadi gambaran bahwa banyak orang ingin membangun kota Medan menjadi kota yang maju dan itulah harapan kita. Medan sebagai kota Metropolitan tentunya harus di bangun oleh pemimpin yang memiliki dedikasi tinggi, berkompeten dan berintegritas. Dari banyaknya calon tentunya membuka kesempatan melihat dan memilih pemimpin yang diharapkan itu. Berdua lebih baik daripada sendiri.
Saya tetap mengimani dari calon yang ada tetap ada yang terbaik. Setidaknya terbaik dari yang ada tersebut. Dan itulah harapan kita, warga Medan bisa memilih yang terbaik nantinya. Sehingga harapan akan terwujud mengalahkan realita selama ini. Bahkan lebih dalam lagi memutarbalikkan realita tersebut. Sehingga Medan yang maju akan kita nantikan bersama. Harapan kita adalah jangan lagi Walikota Medan terpilih nantinya harus non-aktif karena kasus korupsi. Tetapi Walikota yang akan memberikan warna yang berbeda membangun Medan ke arah yang lebih baik. Semoga… (Penulis bekerja di Perkantas Medan, aktifis Compus Concern dan aktif di Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen) Medan. (diterbitkan di Harian Analisa)
Minggu, 31 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar