Minggu, 04 Oktober 2009

Opini

Indonesia kedepan!
Oleh: Prasasti Perangin-angin S.Pd

Indonesia bisa disebut sebagai Negara gagal. Di lihat dari kemelut permasalahan yang terus-menerus dihadapi bangsa ini sepertinya sulit melihat sebuah titik terang kebangkitan cita-cita Proklamasi RI yang dinyatakan di dalam pembukaan UUD 1945. Masyarakat adil dan sejahtera, masih jauh dari harapan. Kebodohan, korupsi dan kemiskinan masih menjadi musuh utama bangsa ini. Kalau bisa disimpulkan ketiga hal inilah menjadi penyebab kehancuran bangsa ini. Meskipun Negara ini sudah berusia 64 tahun, masalah ini masih menjadi agenda hitam perjalanan Indonesia kedepan. Sehingga benar seperti yang dikemukan sang Proklamator bahwa musuh kita saat ini bukanlah kolonialisme bangsa lain melainkan penjajahan dari bangsa itu sendiri. Karena kalau dirunut kebelakang siapa yang menjadi biang keladi dari kebodohan di bangsa ini, siapa yang menumbuh suburkan korupsi di bangsa ini, dan siapa yang membuat bangsa ini miskin? Jawabannya adalah kita sendiri sebagai bangsa.
Indikasi kebodohan dengan mudah kita jumpai di bangsa ini. Perhatikan saja sarana pendidikan, maka akan dengan mudah kita jumpai gedung yang hampir roboh, fasilitas yang minim, kualitas guru yang rendah, perpustakaan yang lapuk dan sistem pendidikan yang berorientasi pasar. Dari semua itu kita melihat sebuah ketidak seriusan bangsa ini dalam memajukan pendidikan. Sekarang sepertinya ingin berkata ‘orang miskin dilarang kuliah’. Sehingga jangan heran anak bangsa ini menjadi generasi yang bodoh.
Pembodohan juga tidak hanya dampak sistem yang ada tetapi diperparah di mana realitanya segala yang terjadi di tengah bangsa ini mengajarakan banyak hal tentang kebodohan tersebut. Perhatikan dunia media yang berlomba-lomba membodohi generasi bangsa ini dengan gamblang menayangkan budaya menggossip, iklan yang tidak mendidik, sinetron yang tidak manusiawi, dunia hantu pocong, tahyul dan tanyangan sepertinya tidak ada lembaga sensor di negara ini. Dunia media kita seperti sebuah sekolah yang sedang terang-terangan mengajarkan arti hidup yang boros, konsumerisme, hedonisme, kekejaman, dunia tahyul dan unsur-unsur negative lainnya. Ini adalah gambaran dari realita bangsa yang bodoh.
Apalagi masalah Korupsi. Negeri ini menduduki peringat wahid di seluruh jagad raya ini. Instansi-instansi pemerintah memperlihatkanya kepada kita bagaimana korupsi alias uang pelicin beranak pinak disana menjadi sebuah masyarakat. Korupsi tidak lagi menjadi sebuah pelanggaran norma, tetapi menjadi budaya yang menjadikan dirinya sistem di dalamnya. DPR, Jaksa Agung, Depertemen Agama, kepala daerah, kepada dinas, kepada sekolah, kepala desa dan instansi lainya tidak terkecuali larut di dalam habit yang satu ini. Kasus suap, kasus manipulasi proyek, kasus penyelewangan adalah makanan sehari-hari hidup di negeri ini.
Menyedihakan sekali departement keuangan mengakui saat ini baru 37 kantor atau 20,7 persen dari 178 kantor pelayanan perbendaharaan negara KPPN yang diyakini bebas dari suap-menyuap (Kompas 22-08-2009). Kasus korupsi Achmad Sujudi mantan Menteri Kesehatan, di dalam kasus pengadaan alat kesehatan di departement kesehatan tahun 2003 menjadi tontonan kehidupan korupsi si negeri ini. Atau mengurus KTP harus membayar 50-100 ribu adalah realita budaya korupsi yang mengerogoti bangsa ini.
Sehingga dampaknya adalah kemiskinan. Akibat dari penganguran dan meningkatnya biaya hidup akibat inflasi, jumlah orang miskin akan terus bertambah. Bank Dunia menyatakan 107 (42,6%) juta penduduk negeri di bahwa garis kemiskinan dengan pendapatan dibawah $2 perhari. Teringat, apa yang pernah dikemukakan calon wakil Presiden Prabowo di dalam debat calon wapres beberapa waktu yang lalu. Dengan menunjukan uang 20 ribu dan mengatakan bahwa lebih dari 100 juta penduduk negeri ini tidak bisa mendapatkan uang 20 ribu perhari. Sehingga jangan heran, semakin banyak gelandangan, semakin suburnya pemukiman kumuh, semakin banyak gizi buruk, makan nasi aking menjadi potret bangsa yang sudah berusia 64 tahun ini.
Sakrang, melihat Indonesia kedepan apa yang harus kita lakukan. Sikap optimisme perlu kita bangun untuk melawan tiga musuh utama itu. Sebagai rakyat Indonesia, saatnya kita turut aktif memberikan kontribusi. Benar ini adalah tugas negara untuk memberikan rakyatnya makan, untuk memberikan rakyatnya lapangan pekerjaan, memberikan penghidupan, menyediakan sarana pendidikan dan menegakkan keadilan. Tetapi permasalahan kita bukanlah permasalah subsistansial tetapi permasalahan yang sudah mengakar melekat ditubuh bangsa ini. Sebagai rakyat harus kita akui bahwa tumbuhnya korupsi tidak terlepas dari keterlibatan kita. Atau karena kurangnya karakter bekerja keras, memaksa kita sulit menghidupi keluarga kita sehingga berdampak terhadap pendidikan dan penghidupan yang harus dijalani.
Dengan demikian penting sekali kita tumbuhkan kesadaran bersama untuk memulai perubahan itu. Komponen terkecil di dalam bangsa harus kita yakini akan memberikan harapan. Perubahan dan terwujudnya cita-cita Indonesia kedepan tahap demi tahap akan terwujud. Saatnya budaya ‘mempersalahkan’ kita ganti dengan ‘memperbaiki’. Tidak hanya menuntut apa yang akan diberikan negara ini kepada kita, tetapi mari kita tuntut diri kita apa yang sudah kita berikan untuk negara ini. Lebih bijak sebagai warga negara kita turut mengusahkan kesejateraan bangsa ini, karena jika bangsa ini sejahtera maka kita juga yang turut menikmati kesejateraan itu.
Menjalani umur 64 tahun Indoensia kedepan mari kita jalani dengan sikap berjuang dan yakin bahwa perubahan bagi Indonesia bisa terjadi. Musuh kemisikinan, kebodohan dan korupsi itu bisa kita ‘telan’ jika kita memeranginya secara bersama. Intinya adalah kita sendiri harus berubah. Begitu banyak orang ingin mengubah dunia ini tetapi hanya sedikit orang ingin mengubah dirinya sendiri. Mulailah dengan gaya hidup yang hemat, peduli, integritas, dan bekerjakeras. Jika 230 juta penduduk negara ini melihat dirinya dan mau berubah maka negara ini tidak akan menjadi negara gagal. Kemiskinan, kebodohan dan korupsi itu akan terkikis dengan semangat perubahan itu. Sehingga tidak ada yang mustahil pada akhirnya nanti, kita semua akan melihat ketercapainya cita-cita yang luruh itu. (penulis bekerja di Perkantas Medan, aktifis Campus Concren Medan dan anggota PERKAMEN Medan) dimuat di Harian Analisa tgl 29 Agustus 2009