Siapa Pantas Memimpin Sumut?
Oleh: Prasasti Perangin-angin, S.Pd
Tidak terasa Provinsi Sumatera Utara akan diadakan regenerasi kepemimpinan. Gubernur baru akan dipilih melalui Pilgubsu 2008. Namun, sebelum pemungutan suara pada bulan April nanti sepertinya seluruh rakyat Sumut sudah mengetahui calon yang harus dipilih. Hal ini terlihat ketika di setiap sudut propinsi ini dihiasi oleh gambar dan poster mereka yang harus dipilih. Terlepas dari kenapa gambar itu terpangpang sebelum kampanye, kita melihat bahwa para calon sudah menawarkan sebuah janji dan tawaran yang katanya dipastikan akan membawa perbaikan bagi kondisi Sumut saat ini.
Waktu untuk “memamerkan” diri ini, merupakan sebuah hal yang sudah terbiasa dilakukan jika ada pilkada atau pemilu. Seyogianya memang setiap calon akan menawarkan sesuatu hal untuk menciptakan perubahan. Dan itu mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik aspek ekonomi, keamanan, sosial, kesehatan dan aspek lainnya.
Fenomena Golput
Namun sebelum Gubernur terpilih April nanti, sepertinya terlihat adanya bayang-bayang golput di sebagian masyarakat. Masyarakat tersebut menyatakan bahwa visi dan misi dari para calon itu hanyalah sebatas retorika belaka. Hanya sebatas wacana. Meski hanya asumsi masyarakat, dari banyak komentar yang bisa kita tangkap, terlihat bahwa masyarakat memandang siapapun yang terpilih nanti toh akan seperti ini juga kondisinya. Tidak akan ada perubahan signifikan di Sumatera Utara. Beberapa warga masyarakat yang berkomentar bahwa mereka akan memilih golput menyatakan bahwa spanduk di kantor KPUD (komisi pemilihan umum daerah) yang menyatakan ”satu suara anda sangat bermanfaat untuk pembangunan Sumut” hanyalah sebuah “kebohongan publik”. Sebab siapapun yang terpilih, tidak akan mempengaruhi perubahan dan kemajuan Sumut.
Menangkap kesan apatis tersebut, kelihatannya wajar. Hal ini sangat beralasan jika melihat pengalaman dari berbagai hasil pilkada di daerah lain dan pemilu-pemilu sebelumnya. Setiap wakil rakyat yang dipilih sampai dengan pemilihan Presiden yang menawarkan pembangun dan perbaikan bangsa dan berjanji untuk berpihak kepada rakyat hanyalah juga sebatas wacana. Sebab realitanya, perubahan itu tidak kunjung terjadi bahkan rakyat semakin hari semakin “tercekik”. Peran sebagai ”penyambung lidah rakyat” oleh anggota DPR, entah kapan akan terealisasi. Begitu juga di masa kampanye, para kandidat berjanji akan menumpas korupsi dari negeri ini, tetapi korupsi semakin begitu terbuka di setiap sudut bangsa ini.
Tidak usah terlalu jauh untuk menemukan bukti dari kekecewaan masyarakat ini. Jika kita ‘rimang-rimangi’ hidup di negeri ini semakin hari semakin tidak jelaslah kemana para pemimpin negeri ini mengarahkannya. Apa tujuan bangsa ini tidak jelas. Di negeri inilah kita akan menemukan budaya tidak tahu malu, budaya preman dan budaya “democrazy”. Masyarakat lelah berbicara dan berpendapat. Harapan yang dibangun awalnya sangat besar tetapi kemudian sirna karena mereka yang terpilih biasanya akan segera melupakan janji-janjinya.
Apa boleh buat. Meski kita tidak setuju dengan golput, kita bisa memahami alasan beberapa warga masyarakat itu untuk tidak memberikan pilihannya nanti. Alasan di balik keengganan mereka menjatuhkan pilihan amat bisa diterima dan sering sekali memang benar adanya.
Profil
Jika dilihat secara sepintas dari kualifikasi ke-5 pasang calon Gubsu 2008 ini, mungkin kita bisa diyakinkan bahwa perubahan itu akan terjadi. Berbicara tentang pengalaman mereka, mereka adalah tokoh yang terbiasa terlibat di dalam kancah politik dan kepemimpinan di Sumatera Utaraa ini. Latarbelakang pendidikan mereka juga tidak jelek. Bahkan ada dari mereka memperoleh gelar Magister dan Doktor.
Tetapi mengapa masih ada keraguan memilih mereka? Apa yang membuat kesan apatis dan golput itu begitu menguat pada benak sekitar 8,4 juta calon pemilih? Atau pertanyaan sebaliknya, apa yang seharusnya dimiliki oleh para kandidat itu supaya masyarakat memberikan pilihan kepada mereka?
Tentu saja, masyarakat pertama-tama sangat menginginkan integritas. Itu yang paling penting dilihat oleh masyarakat. Jujur saja, integritas para calon belum bisa dirasakan oleh penduduk propinsi ini. Apa yang mereka tawarkan saat ini belum tentu akan terjawab seperti itu yang mereka lakukan masa mereka menjadi Gubernur. Beda sebelum terpilih dengan sudah terpilih. Alias dijanjikan “A” yang terealisasi nantinya malah “Z”. Dalam hal ini tentunya kita bukan pesimis akan perubahan integrity mereka. Tetapi melihat tidak adanya kekonsistenan di dalam masa sebelum kampaye ini adalah alasan jawaban akan pendapat itu. Lihatlah disetiap sudut kota dan propinsi ini semuanya dipenuhi dengan gambar calon yang sudah curi strart. Padahal hari kampaye baru dimulai 30 Maret. Bukankah ini gambaran sederhana dari ketidakkonsistenan itu?
Yang berikutnya, kita berpendapat bahwa jika ke-5 calon ini ingin memimpin Sumut maka dibutuhkan sebuah komitment untuk menjadi seorang pemimpin yang rela menjadi pelayan masyarakat. Pemimpin yang bukan melayani dirinya sendiri tetapi melayani masyarakat sebagai bagian dari tanggung-jawab publik terhadap kepercayaan yang diberikan rakyat. Pemimpin yang bukan hanya duduk di ”menara gading”, tetapi yang rela bersama-sama dengan para petani yang terjepit karena mahalnya harga pupuk. Rela menjadi sahabat para pedagang yang semakin terpinggirkan karena munculnya tempat perbelanjaan yang modern. Menjadi teman bagi para guru yang mungkin hanya bergaji 500 ribuan sebulan padahal sudah sarjana.
Seorang pemimpin yang bukan hanya datang dan dikenal masyarakat sewaktu ada acara peresmian dan kegiatan-kegiatan besar saja. Tetapi pemimpin yang di dalam setiap kondisi, penduduk Sumut ini bisa merasakan kehadiranya. Seorang pemimpin yang akan menjawab kebutuhan pendidikan, kesehatan dan aspek-aspek yang lain. Atau dengan kata lain pemimpin yang memberikan rasa nyaman dan mendatangkan kesejahteraan kepada masyarakat Sumut.
Yang tidak kalah penting adalah masyarakat menginginkan pemimpin yang menjadi musuh para koruptor. Menjadi pemimpin yang menjadi teladan bagi bawahannya. Sehingga para bawahan takut untuk berbuat sesuatu yang salah. Pemimpin yang berkomitmen memperjuangkan hak-hak yang terpinggirkan. Perubahan yang senantiasa dirindukan rakyat akan terjadi jika para calon memiliki kepemimpianan yang melayani. Jadi siapa yang pantas memimpin Sumut ke depan, adalah dia yang berjiwa seorang pelayan. Dengan komitmen penuh akan memberikan yang terbaik bagi Sumatera Utara.
Jika hal-hal di atas dimiliki dan direnungkan bagi para 5 calon Gubsu kita, saya yakin masyarakat akan menanggalkan keinginan mereka untuk mengabaikan hak memilih mereka. Masyarakat pasti akan tertarik dan melakukan pesta demokrasi ini bersama-sama. Bagaimanapun, yang namanya Pilgubsu, ini adalah pestanya masyarakat, dari, oleh dan untuk masyarakat. Alangkah sayangnya kalau masyarakat tidak terlibat secara penuh di dalamnya. (Penulis bekerja sebagai staf Pembina mahasiswa di Perkantas Medan, aktif sebagai anggota Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen) di Medan)
Selasa, 25 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar